Apakah kamu tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah menurunkan
air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air yang mengalir,
kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air tanaman yang bermacam-macam
warnanya, lalu ia menjadi kering dan kamu melihatnya kekuning-kuningan,
kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal (QS Az-Zumar:21).
Ayat Al-Quran itulah yang
menjadi dasar Peneliti Institut Pertanian Bogor yang juga staf
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB Ir.
Kamir R. Brata, Msc mengembangkan penemuan ilmiahnya tentang Lubang
Serapan Biopori untuk mencegah banjir. Ia juga memanfaatkan sampah
organik, untuk menghidupkan mahkluk kecil dalam tanah yang berguna
sebagai penghasil sumber air baru.
Teknologi ini diawali
dengan pembuatan lubang sedalam 120 centimeter atau disesuaikan dengan
jenis tanah, dengan diameter sekitar 10 centimeter. Langkah selanjutnya
adalah memasukan sampah lapuk dua sampai tiga kilogram tergantung
jenisnya ke dalam lubang tersebut, lalu tutup dengan kawat jaring agar
orang yang menginjaknya tidak terperosok.
Teknologi ini menurut
Kamir, bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen ataupun
dihalaman rumah. Air hujan yang masuk dengan mudah ketanah dan terserap
ke dalam lubang yang bisa dibuat lebih dari satu itu. Bagaimana
perjalanan Kamir R. Brata sampai menemukan teknologi Lubang Serapan
Biopori ini? Berikut bincang-bincan eramuslim di tempat kediamannya di
Bogor.
Sebenarnya apa yang mengilhami anda menemukan teknologi baru seperti ini?
Saya terinspirasi bahwa
segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini tidak mubazir. Air penting bagi
kehidupan jangan dibuang, sampah juga penting jangan dibuang. Sudah
jelas masalahnya, karena itu saya menggunakannya dalam penelitian ini.
Semua orang dapat memanfaatkannya tanpa alasan, dengan segera, agar
tidak terlalu banyak kemubaziran dan kita dapat merasakan manfaatnya.
Yang banyak terjadi
sekarang para ahli dan orang selalu digoda setan, dan menggampangkan
permasalahan yang bisa berdampak besar. Misalnya biar saja buang sedikit
sampah ataupun air dari atas pegunungan. Sedikit mula-mula memang tidak
membahayakan. Tetapi kalau semua melakukannya pasti akan terjadi
musibah.
Saya selaku orang Muslim,
menyadari bahwa pelaksanaan ibadah yang dilakukan harus disertai dengan
ketaatan kita dalam menjalankan perintahNya. Hal itu dapat terlihat
kalau kita tidak mentaati apa yang menjadi perintah Tuhan, Dia akan
menurunkan berbagai cobaan dan musibah. Karena itu, sebagai seorang ahli
yang mengetahui sistem ekologi tanah, di mana antara ekosistem antara
makhluk hidup yang berada di dalam tanah dan makhluk yang tak hidupnya
saling ketergantungan, maka kita perlu mengupayakan agar ekosistem tanah
tetap utuh dan tidak rusak demi kelangsungan kedua jenis makhluk yang
ada didalamnya.
Sampah yang kita buang,
lama kelamaan semakin banyak dan akan menjadi beban bagi lingkungan, dan
juga beban bagi manusia, karena tempat tinggalnya harus dipakai untuk
membuang sampah. Banyak juga yang berinisiatif membuangnya kesungai
ataupun saluran air, itupun akan menimbulkan dampak baru yakni meluapnya
air sungai.
Karena itu saya berupaya
mencari sebuah teknologi dan sebagai orang yang beragama pun saya
terpanggil untuk melakukan perubahan. Kita memang sudah mengenal yang
namanya sumur resapan air, tapi proses itu masih belum bisa mencegah
kemubaziran, karena tanahnya, hasil galian yang tidak sedikit itu harus
dibuang ke tempat lain. Selain itu air yang meresap tidak terlalu
banyak, sangat sulit memeliharanya.
Atas pemikiran itu serta
dengan alasan saya mengetahui makhluk Tuhan yang ada di dalam tanah
perlu dibantu untuk terus mendapatkan makanan dari bahan organik, maka
saya mencoba membuat Lubang Serapan Biopori ini.
Sebenarnya apa yang menjadi keunggulan teknologi ini?
Air merupakan bagian dari
makhluk hidup ada yang menyerap 50 persen dalam badannya, ada yang 80
persen, tanpa air makhluk hidup akan mati. Selain membutuhkan air,
makhluk hidup membutuhkan oksigen dan juga makanan. Yang bisa menghidupi
itu adalah mereka yang bisa memanfaatkan sinar matahari untuk
berfotosintesis yakni tumbuhan dan tanaman, mereka membutuhkan makanan
dan energi yang diserap melalui akar yang ada ditanah. Proses ini
terjadi dengan sempurna apabila kandungan air dalam tanah cukup dan
tidak berlebihan.
Jika air tanah masih utuh
maka kerja makhluk di bawah tanah ini akan mengganti air yang hilang
karena penguapan diambil oleh tanaman dan manusia, dan perlahan-lahan
muncul sumber air baru yang akn dialirkan ke sungai, untuk danau dan
situ-situ, serta dapat mendorong air asin tidak masuk kedarataan. Itu
akan terjadi jika air cukup diserap oleh tanah. Sebagian orang
menganggap itu kerja dari hutan, lantaran mereka melas mengurusnya lagi
maka sedikit demi sedikit hutan diubah menjadi kebun yang jelas
fungsinya berbeda. Ini yang lama kelamaan diselewengkan.
Saya mencoba berpikir
bahwa lubang-lubang kecil bisa dibuat oleh siapapun, katakanlah hutan
yang tidak ada penghuninya saja mempunyai lubang-lubang kecil atau
Biopori. Kenapa disebut Biopori, sebab lubang yang dibuat itu diisi
dengan bahan organik, mulanya cacing, dan di situ tidak ada pencemaran,
karena bahan organik semuanya akan larut dan hilang, dan di dalam lubang
itu terdapat celah-celah cabang.
Dengan teknologi ini,
kita membuat tempat untuk makhluk hidup untuk penyerapan air, dengan
memanfaatkan apa yang harus kita buang. Namun yang tidak semua jenis
sampah yang bisa ditampung, khusus sampah organik saja. Oleh karena itu
yang paling dibutuhkan dalam penerapan teknologi ini adalah kesadaram
untuk tidak membuang sampah karena sampah itu adalah sumber daya, apapun
jenis sampahnya. Sampah yang tidak lapuk bisa dimanfaatkan oleh
pemulung menjadi bahan industri.
Karena itu ubahlah
kebiasaan kita, agar selalu memisahkan sampah organik dan non organik.
Serta jangan selalu membuang sampah di tempat penampungan, selain
menimbulkan bau, sarang lalat, dan tikus, juga dapat merusak lingkungan.
Apalagi jika diendapkan di tempat pembuangan akhir sampah, itu akan
lama lapuknya dan dapat menghasilkan zat metana yang apabila tidak
disalurkan bisa meledak seperti yang terjadi di TPA Luwi Gajah.
Teknologi ini bisa diterapkan di mana saja?
Karena sejak awal saya
memikirkan bahwa ini sangat mudah untuk diterapkan, maka tidak ada
alasan bagi orang yang membuang sampah dan menggunakan air untuk tidak
melakukannya. Artinya setiap orang yang menghasilkan sampah dan
menggunkan air maka semua wajib memproses sampahnya sendiri, jangan
dibuang ke tempat lain, demikian juga dengan air. Mau lahannya sudah
ditutup oleh bangunan ataupun jalan, apalagi yang masih terbuka harus
melakukan cara ini. Kenapa ini diwajibkan, jangankan yang tertutup
dengan bidang kedap yang dibuat manusia, lahan pertanian dan perkebunan
yang masih kosong saja teknologinya membuat kelebihan air untuk dibuang.
Dengan teknologi ini
semua orang dapat memanfaatkan air yang sangat dibutuhkan oleh kehidupan
di mana saja. Karena curah hujan ini tidak hanya jatuh dikawasan situ
saja, sehingga yang paling gampang agar tidak membebani lingkungan,
semua orang harus membuat peresapan itu dengan baik. Setelah saya
terangkan dengan mudah, diharapkan ini bisa diterapkan oleh semua orang.
Apakah ini bisa meminimalisir banjir seperti yang terjadi di kota Jakarta?
Air menjadi penyebab
banjir kalau drainase tidak bisa menampung air saat itu. Jika hujan
jatuh secara merata bukan di sungai, di daratan kita resapkan dan
meresapnya juga perlahan-lahan, itu akan menjadi sumber air baru. Kalau
tidak diresapkan darimana pun air berasal, hutan, kebun maupun pemukiman
kalau dibiarkan akan membebankan sungai. Apalagi kalau ditambah dengan
sampah yang dibuang sembarangan. Ini akan menjadi sumbatan bagi sungai
dan menimbulkan pencemaan baru bagi sumber air. Jika teknologi ini
diterapkan maka banjir yang lima tahunan terjadi pasti tidak seberat
sekarang ini. Saya menganggap banjir yang terjadi ini disebakan rencana
umum tata ruang yang belum dilakukan dengan baik.
Penemuan
anda ini sepertinya harus dibarengi dengan kesadaran masyarakat, apakah
ada upaya dari IPB bekerjasama dengan pihak lain untuk membangkitka
kesadaran masyarakat itu?
Setelah ada media yang
mulai mengangkat hasil penelitian ini, saya merasa mempunyai tanggung
jawab moral, setelah mengetahui ada teknologi yang mudah, dan kira-kira
semua orang bisa menerapkannya. Saya mewacanakan ini. Dan untuk merubah
kebiasaan masyarakat, harus ada perubahan persepsi, bahwa sampah itu
jangan dibuang. Memang tidak mudah, karena pasti mereka berfikiran
sampah akan mencemarkan pemukiman kita.
Apakah
penemuan teknologi lubang serapan Biopori ini sudah anda sosialisasikan
kepada pemerintah dan apa tanggapan dari pemerintah?
Saya sudah tawarkan pada
Departemen Pertanian, tapi belum ada tanggapan. Karena itu saya mencoba
sosialisasikan melalui anda (media), meskipun tidak secara langsung,
namun paling tidak ini dapat menjadi pilihan bagi masyarakat. Saya akui
ini memang agak sulit untuk disebarkan langsung, karena aparat
dibawahnya masih mengikuti petunjuk teknis dari departemen terkait.
Tetapi jika departemen mengetahui ada pilihan yang lebih aman, bisa
melakukannya.
Apa kelemahan hasil penemuan anda ini, misalnya saja sampah organik ini busuk dan menjadi bau?
Saya sedang menanti-nanti
apa yang menjadi kelemahannya. Menurut saya, kalau bahan organik itu
berada pada lubang yang kecil bisa masuk cacing, proses itu akan
diuraikan, tidak mungkin menjadi kotor dan bau. Tetapi kalau lubang
besar, busuk, karena terlalu banyak, sampah sulit diuraikan. Karena itu
sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu
juga bisa dijadikan kompos.
Berapa biaya yang dikeluarkan untuk lubang serapan Biopori ini?
Kalau untuk membuat
lubangnya, kita hanya memerlukan bor tanah. Paling mudah karena dapat
dilakukan secara manual dengan bor tanah dengan harga 200-300 ribu dan
itu bisa dipakai oleh puluhan orang dalam waktu yang lama. Dapat dipakai
untuk membuat lubang tambahan. Jika dibandingkan dengan sumur serapan,
biayanya akan lebih mahal. Dengan lubang kecil ini air akan menyerap
lebih cepat, karena air yang masuk sedikit dan menyebar. Untuk penerapan
teknologi ini biayanya tidak terlalu besar, tetapi efektivitasnya lebih
besar. (noffel)
|
Komentar